Pada hari Rabu 8 Juli 2009 seluruh rakyat Indonesia yang telah mempunyai hak pilih, dan telah memilih capres-cawapres pilihannya, tentu saja masih ada yang yang memilih untuk golput. Berdasarkan quick count Metro TV, pasangan Mega-Prabowo meraih 26,32 persen suara, SBY-Boediono meraih 58,51 persen suara, dan pasangan JK-Wiranto meraih 15,18 persen suara. Dari hasil quick count Metro TV ini dan banyak lembaga survey lainnya menempatkan pasangan SBY-Boediono meraih kemenangan mutlak di atas 50 persen suara, dan unggul di lebih dari setengah dari total provinsi di Indonesia. Bararti pemilu berdasarkan quick count ini dimenangkan oleh SBY-Boediono dalam satu putaran.
Ada beberapa hal yang menjadi indikator kemenangan Pasangan SBY-Bordiono ini. Pertama, politik pencitraan yang digalang oleh tim kampanye SBY-Boediono ternyata masih ampuh untuk menggalang dukungan dari masyarakat luas. Pencitraan sebagai orang yang santun, sebagai orang yang menjadi teraniaya, telah menjadi barang dagangan yang ampuh bagi pasangan nomor dua ini. Politik pencitraan yang "njawani" ini ternyata sangat ampuh untuk menarik dukungan dari mayoritas pemilih di Indonesia yang berasal dari etnis Jawa.Hal ini didukung pula oleh orientasi para pemilih yang condong menempatkan figur/faktor pribadi/citra seseorang sebagai referensi utamanya dibandingkan memilih secara ideologis. Kedua, kondisi politik-ekonomi terkini yang relatif stabil telah menjadi back-up yang kuat bagi pasangan ini, turunnya harga minyak, politisasi BLT menjelang pemilu telah memberi nilai lebih pada pasangan ini. Ketiga, banyaknya koalisi parpol yang berada di belakang pasangan ini semakin memperkokoh kekuatan pasangan ini. Partai-partai menengah seperti PAN, PKB, PKS, dan PPP telah memberi andil yang besar dalam perolehan suara SBY-Boediono yang mencapai lebih dari 50 persen suara.
Isu-isu selama kampanye seperi isu neolib (neo liberalisme) ternyata tidak mampu secara signifikan menggoyahkan pasangan ini. Isu neolib hanya bisa menyentuh masyarakat golongan intelektual dan sangat sukar berakar dan memberi kesadaran terhadap substansi dari isu tersebut kepada masyarakat banyak terutama pada masyarakat bawah (grass root). Kemudian acara debat di televisi selama 5 kali, ternyata juga tidak mampu mengangkat pamor capres JK yang menjadi "bintang" dalam acara tersebut. Isu-isu dalam debat tersebut masih jauh menyentuh permasalahan hidup dan kondisi rakyat terkini. Isu-isu elitis yang dijabarkan secara elitis pula, dan tidak secara populis kurang mampu membangun kesadaran dan memberi pengetahuan kepada khalayak umum. Begitupun kampanye pencitraan yang di bangun JK yang mengusung perannya sebagai figur yang menentukan terhadap masalah BLT, konversi minyak ke gas, dan perannya dalam perdamain Aceh ternyata juga belum cukup ampuh mengangkat pamornya. Masyarakat lebih condong menilai siapa presidennya, ketimbang siapa wakil presidennya. Dus, hal ini berakibat terbalik dimana citra SBY sebagai presiden melesat dan JK sebagai wapres jalan di tempat. Alhasil incumbent ternyata masih berjaya, namun ada satu hal yang perlu dilakukan oleh pasangan yang kalah (tentunya dengan hasil akhir dari KPU)yaitu segera melakukan repositioning untuk menjadi oposisi guna menjadi penyeimbang kekuatan eksekutif walaupun konstruksi parlemen yang akan datang ini dikuasai oleh incumbent beserta partai koalisinya, namun setidaknya akan cukup memberikan bargaining kepada incumbent. Apalagi jika oposisi di dukung oleh kalangan dari ekstra parlementer seperti dari LSM/NGO, dan kekuatan-kekuatan masyarakat lainnya yang akan bertindak sebagai watchdog bagi pemerintah, hal ini bertujuan agar politik kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah nantinya akan tidak menyimpang dan merugikan rakyat seperti di zaman Orde lama dan Orde Baru yang minus kontrol dan represif. Selamat menjadi oposisi!!
Ada beberapa hal yang menjadi indikator kemenangan Pasangan SBY-Bordiono ini. Pertama, politik pencitraan yang digalang oleh tim kampanye SBY-Boediono ternyata masih ampuh untuk menggalang dukungan dari masyarakat luas. Pencitraan sebagai orang yang santun, sebagai orang yang menjadi teraniaya, telah menjadi barang dagangan yang ampuh bagi pasangan nomor dua ini. Politik pencitraan yang "njawani" ini ternyata sangat ampuh untuk menarik dukungan dari mayoritas pemilih di Indonesia yang berasal dari etnis Jawa.Hal ini didukung pula oleh orientasi para pemilih yang condong menempatkan figur/faktor pribadi/citra seseorang sebagai referensi utamanya dibandingkan memilih secara ideologis. Kedua, kondisi politik-ekonomi terkini yang relatif stabil telah menjadi back-up yang kuat bagi pasangan ini, turunnya harga minyak, politisasi BLT menjelang pemilu telah memberi nilai lebih pada pasangan ini. Ketiga, banyaknya koalisi parpol yang berada di belakang pasangan ini semakin memperkokoh kekuatan pasangan ini. Partai-partai menengah seperti PAN, PKB, PKS, dan PPP telah memberi andil yang besar dalam perolehan suara SBY-Boediono yang mencapai lebih dari 50 persen suara.
Isu-isu selama kampanye seperi isu neolib (neo liberalisme) ternyata tidak mampu secara signifikan menggoyahkan pasangan ini. Isu neolib hanya bisa menyentuh masyarakat golongan intelektual dan sangat sukar berakar dan memberi kesadaran terhadap substansi dari isu tersebut kepada masyarakat banyak terutama pada masyarakat bawah (grass root). Kemudian acara debat di televisi selama 5 kali, ternyata juga tidak mampu mengangkat pamor capres JK yang menjadi "bintang" dalam acara tersebut. Isu-isu dalam debat tersebut masih jauh menyentuh permasalahan hidup dan kondisi rakyat terkini. Isu-isu elitis yang dijabarkan secara elitis pula, dan tidak secara populis kurang mampu membangun kesadaran dan memberi pengetahuan kepada khalayak umum. Begitupun kampanye pencitraan yang di bangun JK yang mengusung perannya sebagai figur yang menentukan terhadap masalah BLT, konversi minyak ke gas, dan perannya dalam perdamain Aceh ternyata juga belum cukup ampuh mengangkat pamornya. Masyarakat lebih condong menilai siapa presidennya, ketimbang siapa wakil presidennya. Dus, hal ini berakibat terbalik dimana citra SBY sebagai presiden melesat dan JK sebagai wapres jalan di tempat. Alhasil incumbent ternyata masih berjaya, namun ada satu hal yang perlu dilakukan oleh pasangan yang kalah (tentunya dengan hasil akhir dari KPU)yaitu segera melakukan repositioning untuk menjadi oposisi guna menjadi penyeimbang kekuatan eksekutif walaupun konstruksi parlemen yang akan datang ini dikuasai oleh incumbent beserta partai koalisinya, namun setidaknya akan cukup memberikan bargaining kepada incumbent. Apalagi jika oposisi di dukung oleh kalangan dari ekstra parlementer seperti dari LSM/NGO, dan kekuatan-kekuatan masyarakat lainnya yang akan bertindak sebagai watchdog bagi pemerintah, hal ini bertujuan agar politik kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah nantinya akan tidak menyimpang dan merugikan rakyat seperti di zaman Orde lama dan Orde Baru yang minus kontrol dan represif. Selamat menjadi oposisi!!
=Lanjutkan=
ReplyDeleteDemi perubahan bangsa yang lebih baik