Memasuki tahun 2009 ini ada agenda besar yang akan dilalui oleh masyarakat Indonesia yaitu agenda politik, pemilihan legislatif dan pemilihan presiden dan wakil presiden. Dapat kita lihat bersama para calon legislatif (caleg) berlomba-lomba berkampanye merebut simpati masyarakat pemilih. Mulai dari memasang baliho, poster, memasang spanduk, pembagian kartu nama, kunjungan sosial dan bakti sosial, beriklan di televisi, radio dan media cetak serta banyak lagi lainnya. Semuanya itu tentu saja dengan satu maksud tujuan agar masyarakat dapat memilih yang bersangkutan untuk pemilu legislatif nanti. Tidak heran kantor DPR menjadi lengang dikarenakan banyak anggotanya yang mencalonkan diri kembali dan sibuk berkampanye di daerah pemilihan (dapil) masing-masing. Tidak heran kalau kita melihat di jalan-jalan, gang-gang, dan rumah-rumah penduduk menjadi "ramai" oleh atribut-atribut para caleg ini, hal ini lazim terjadi pada masa transisi dari rezim lama ke rezim baru. Selanjutnya para caleg mulai melakukan aksinya dengan berbagai cara baik dengan tebar pesona, tebar ide, dan yang tak ketinggalan adalah tebar uang !. Langkah selanjutnya para caleg ini mulai mengkalkulasi kekuatan; konsolidasi infrastruktur dan SDM untuk kampanye, menggalakkan serta mengembangkan social networking, pembentukan tim sukses yang kesemuanya itu diatur dalam (renkerstra) Rencana Kerja Strategis. Dan tibalah pada hari-H nya nanti para caleg menunggu dengan harap-harap cemas menanti hasil pemilu yang akan menentukan apakah mereka lolos menjadi anggota legislatif atau tidak. Seperti banyak orang bijak mengatakan "kerja yang baik haruslah diiringi dengan do'a". Maka dalam do'a, mereka memohon untuk diluluskan cita-citanya menjadi anggota legislatif (ada juga dari para caleg ini yang mencoba peruntungannya dengan datang ke paranormal untuk dilihat nasib pencalegannya), namun do'a adalah do'a, manusia tidak dapat mengintervensi do'a, soal terkabul atau tidaknya do'a mereka adalah hak prerogatif Tuhan sepenuhnya (tidak seperti dunia sekarang dimana PBB menjadi ajang intervensi kekuatan adidaya) jadi ketika caleg ini gagal menjadi legislatif janganlah kegagalannya ditumpahkan kepada Tuhan!!!. Bagi mereka yang tidak terpilih harus "banting-tulang" lagi mengumpulkan pundi-pundinya yang tergerus ketika mencalonkan diri menjadi caleg, dan bagi mereka yang lolos maka kursi anggota dewan yang empuk telah siap-sedia menerima mereka dengan fasilitas dan gaji yang aduhai!. Dan ketika mereka telah duduk di kursi DPR maka mission accomplish! Misi telah selesai, seperti dikatakan Ichsanuddin Noorsy realita di lapangan berbicara : ketika para caleg dengan idealismenya yang tinggi sewaktu berkampanye kemudian masuk ke dalam sebuah sistem, yang mana sistem tersebut ternyata tidak seideal yang diinginkan, maka pilihannya ada dua; ikut dalam sistem tersebut atau terpental dari sistem tersebut, kalau sudah begitu maka gagalah idealisme! pada akhirnya rakyat dikecewakan karena para anggota dewan telah melupakan janji-janjinya.Rakyat terkecewakan untuk kesekian kalinya! rakyat hanya bisa berteriak sumpah-serapah, hak mereka untuk hidup sejahtera tereleminasikan oleh kepentingan-kepentingan individu/kelompok sesaat, kepentingan akan mengakumulasi kekayaan dan kepentingan untuk kekuasaan. Inilah lelucon demokrasi : ketika rakyat (sebagai pemimpin) menggantungkan nasibnya pada legislatif dan presiden/eksekutif (sebagai wakil rakyat), bagaimana mungkin pemimpin menggantungkan nasibnya pada wakilnya ?!! dus, presiden kemudian disebut pemimpin, bukankah dalam konteks demokrasi jika seseorang telah menjabat sebagai presiden maka kedudukannya telah berubah menjadi wakil rakyat, yang berarti presiden adalah bawahan rakyat yang jumlahnya kurang lebih 220-1 (kurang lebih 220 juta orang Indonesia dikurangi satu orang yaitu presiden) yang 219 juta orang inilah sesungguhnya kalau bicara dalam konteks demokrasi adalah pemimpin, namun pada realitanya yang mengambil keputusan adalah presiden bukan rakyat yang 219 juta orang! Presidenlah yang menentukan! jadi wajar jika rakyat berdemo turunkan BBM, maka presiden dengan berbagai alasan menolak penurunan BBM walaupun sekarang terjadi penurunan BBM namun itu bukan semata-mata niat untuk membantu rakyat melainkan adalah efek dari krisis global yang meruntuhkan harga BBM dunia. Kalau dari masing-masing kita adalah sebagai pemimpin (ingat arti demokrasi; pemerintahan oleh rakyat) maka apa gunanya lagi memilih presiden dan legislatif) jadi kalau diambil kesimpulan maka presiden (wakil Rakyat) telah melakukan pembangkangan terhadap kehendak pemimpin (rakyat yang 219 juta orang ) namun tidak ada sanksi untuknya. Bagaimana bila dibalik yang 219 juta orang ini yang memerintah, disitu ada; (bayi, anak-anak, orang tua, jompo, orang gila, pencuri, perampok, koruptor, WTS, profesor, militer, polri, dan lain-lain) bagaimana jadinya? inilah gambaran demokrasi, yang tidak jelas siapa yang memimpin siapa yang dipimpin, manusia dibuat bingung + linglung ! Selamat berbingung ria !!!
Indonesia menurut J.H. Boeke mengalami dualisme ekonomi atau dua sistem ekonomi yang berbeda dan berdampingan kuat. Dua sistem tersebut bukan sistem ekonomi transisi dimana sifat dan ciri-ciri yang lama makin melemah dan yang baru makin menguat melainkan kedua-duanya sama kuat dan jauh berbeda. Perbedaan tersebut karena sebagai akibat penjajahan orang-orang Barat. Apabila tidak terjadi kedatangan orang-orang Barat mungkin sistem pra-kapitalisme Indonesia dan dunia Timur pada umunya pada suatu waktu akan berkembang menuju sisitem atau tahap kapitalisme. Akan tetapi sebelum perkembangan kelembagaan-kelembagaan ekonomi dan sosial menuju ke arah sama, penjajah dengan sisitem kapitalismenya (dan sosialismenya serta komunisme) telah masuk ke dunia Timur. Inilah yang menimbulkan sistem dualisme atau masyarakat dualisme. Telah diuraikan bahwa ekonomi dualistik atau lengkapnya sistem ekonomi dualistik adalah suatu masyarakat yang mengalami 2 macam sistem ekonomi yang saling berbeda dan berdampi
Comments
Post a Comment