Memasuki masa akhir kampanye, partai-partai politik semakin intens berkampanye. Mereka semakin ekspansif dalam berkampanye, mulai kampanye dari door to door, kampanye massal sebagai bentuk show of force, bagi-bagi hadiah dengan berbagai alasan agar tidak di cap sebagai money poltics, sampai dengan kegiatan-kegiatan sosial berupa berobat gratis, bantuan kemanusiaan bagi korban bencana alam dan sebagainya. Kita lihat di televisi para politisi menyuarakan visi-misi partainya yang isinya adalah bagaimana mereka akan menyejahterakan rakyat, meningkatkan taraf hidup masyarakat dan sebagainya. Dimana-mana rakyat dalam masa kampanye menjadi retorika yang paling populer dan banyak disuarakan oleh partai-partai politik. Demi rakyat…. Demi kemakmuran rakyat… demi kesejahteraan rakyat…. Dan demi-demi lainnya. Begitulah suara-suara yang keluar dari mulut mereka. Ada yang menjanjikan sembako murah, berobat gratis, pendidikan gratis, BBM murah, dan lainnya. Dan materi kampanye yang paling banyak jadi sorotan penantang incumbent adalah soal (BLT) Bantuan Langsung Tunai. Salah satu yang paling keras mengkritik BLT ini adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), yang dapat kita lihat di televisi melalui Ketua Umumnya menghujat dan menentang dengan keras program BLT ini. Yang mana BLT ini dianggap sebagai bentuk bantuan yang tidak mendidik, mengajarkan orang menjadi pemalas, orang miskin menjadi tidak punya harga diri, dan lainnya. Namun belakangan kita juga dutunjukkan oleh iklan politik PDIP yang isinya adalah “mengklaim” dan “membenarkan” soal BLT ini. Hal ini tentunya membuat orang yang melihatnya menjadi bertanya-tanya, disatu sisi Ketua Umumnya menghujat BLT namun disisi lain melalui iklan politiknya PDIP “mendukung” program BLT. Kedua fakta ini tampaknya menarik untuk dibuat hipotesis, yaitu apakah ini merupakan suatu gejala pragmatisme politik yaitu untuk mencari simpati dari golongan penduduk miskin penerima BLT yang jumlahnya puluhan juta orang itu, yang mana merupakan kantong-kantong suara yang signifikan untuk menambah pundi-pundi suara para parpol. Bercermin pada fakta diatas, pada akhirnya kita mendapatkan definisi tambahan dari politik itu sendiri yaitu politik adalah “tujuan menghalalkan segala cara”.
Indonesia menurut J.H. Boeke mengalami dualisme ekonomi atau dua sistem ekonomi yang berbeda dan berdampingan kuat. Dua sistem tersebut bukan sistem ekonomi transisi dimana sifat dan ciri-ciri yang lama makin melemah dan yang baru makin menguat melainkan kedua-duanya sama kuat dan jauh berbeda. Perbedaan tersebut karena sebagai akibat penjajahan orang-orang Barat. Apabila tidak terjadi kedatangan orang-orang Barat mungkin sistem pra-kapitalisme Indonesia dan dunia Timur pada umunya pada suatu waktu akan berkembang menuju sisitem atau tahap kapitalisme. Akan tetapi sebelum perkembangan kelembagaan-kelembagaan ekonomi dan sosial menuju ke arah sama, penjajah dengan sisitem kapitalismenya (dan sosialismenya serta komunisme) telah masuk ke dunia Timur. Inilah yang menimbulkan sistem dualisme atau masyarakat dualisme. Telah diuraikan bahwa ekonomi dualistik atau lengkapnya sistem ekonomi dualistik adalah suatu masyarakat yang mengalami 2 macam sistem ekonomi yang saling berbeda dan berdampi
Comments
Post a Comment